SOROT 533

Perang Dagang di Tahun Politik

Ilustrasi Bisnis.
Sumber :
  • VIVA/Tim Desain

VIVA – Tahun 2018 tinggal hitungan hari lagi berakhir. Berganti menjadi tahun politik, yang akan mencapai klimaksnya saat gelaran pemilihan umum serentak pada April 2019. 

Erick Thohir Kena 'Sentil' DPR Gegara Sering Rombak Direksi-Komisaris BUMN di Tahun Politik

Momentum tahun politik dipastikan bisa berimplikasi terhadap laju roda perekonomian yang terjadi di suatu negara, tidak terkecuali di Indonesia. Ada kecenderungan pelaku-pelaku ekonomi mengerem mesin bisnisnya, karena berharap hasil dari gelaran tersebut sesuai dengan ekspektasi.

Tidak hanya faktor dalam negeri, ekonomi RI pada 2019 pun masih dibayangi oleh sejumlah faktor eksternal. Seperti belum jelasnya arah penyelesaian perang dagang antara Amerika Serikat dan China, serta kemungkinan terus naiknya Fed Fund Rate, atau suku bunga acuan bank sentral AS, Federal Reserve. 

Bahlil Tolak Revisi Target Investasi Rp 1.650 Triliun di Tahun Politik: Orang Timur Pantang Menyerah

Belum lagi, harga komoditas internasional yang masih berfluktuasi saat ini. Hal itu sangat berpengaruh, mengingat ekspor RI masih didominasi oleh barang komoditas, begitu pula impor minyak yang hingga kini masih besar. 

Selain itu, di sisi global, investasi asing diperkirakan melambat. Tidak bisa dipungkiri, ketidakpastian bisnis jelang klimaks tahun politik pun semakin besar. 

Grup Musik Gen Z Vibes Coba Hadirkan Nuansa Lagu Persatuan di Tahun Politik

Karena belum bisa dipastikan arah kebijakan ekonomi yang akan diterapkan pemerintah hasil dari pemilu tersebut. Hal itu pun membuat investor cenderung wait and see.

Pemerintah pun mengantisipasi penurunan geliat bisnis tersebut dengan sejumlah kebijakan anggaran, tercermin dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019 yang telah disepakati dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Bahkan, berkaca dengan dinamika global pada akhir tahun ini, pemerintah pun optimistis ekonomi pada tahun depan akan tumbuh lebih besar dari 2018. 

Pimpinan DPR Bambang Soesatyo (kiri), Agus Hermanto (kedua kanan) dan Utut Adianto (kedua kiri) menerima Laporan Hasil Pembahasan RAPBN 2019

Pimpinan DPR menerima laporan hasil pembahasan RAPBN 2019

Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, Suahasil Nazara, ketika berbincang dengan VIVA, menjabarkan apa saja yang mendasari optimisme tersebut. 

Pertumbuhan ekonomi misalnya, pada 2019 pemerintah mengasumsikan akan tumbuh 5,3 persen atau lebih besar dari 2018 yang ditargetkan 5,2 persen. Realisasinya dinilai bisa lebih besar dari yang diasumsikan. 

Dia menjelaskan, optimisme tersebut terbentuk seiring dengan sejumlah sinyal positif ekonomi global khususnya dari AS akan rencana kebijakan tahun depan. Salah satunya rencana Fed yang kemungkinan mengurangi kenaikan FFR kurang dari tiga kali pada 2019. 

"APBN diputuskan Oktober. Nah, kami waktu itu masih melihat Amerika itu menaikkan (FFR 2019) tiga kali," ujar Suahasil di Jakarta, Kamis 27 Desember 2019. 

Selain itu, ada kesepakatan AS dan China selama 90 hari ke depan menurunkan tensi perang dagang yang terjadi. Sambil kedua negara merumuskan formula baru perdagangan internasional yang lebih adil bagi keduanya. 

"Jadi ini sekarang periodenya agak calm in, agak tenang karena ada kesepakatan untuk tidak menambah meruncingkan keadaan," tuturnya.

Meski demikian, dia menegaskan, pemerintah akan terus memantau pergerakan ekonomi global. Upaya itu agar strategi ekonomi yang telah dirancang tahun depan dapat berjalan dengan baik. 

"Mungkin volatilitas di pasar dunia tidak seperti 2018. Semoga lebih stabil. Tapi kami tetap aware dengan potensi dan aware dengan risikonya," ungkapnya. 

Di dalam negeri, lanjut Suahasil, pemerintah fokus pada stabilitas ekonomi di semua aspek, khususnya dunia usaha. Momentum tahun politik tidak menjadi penghambat motor perekonomian nasional.

"Cara menciptakan stabilitas melalui kebijakan struktural, bagaimana melancarkan arus barang, arus orang dan juga arus transaksi yang lain," ungkapnya.

 

Tak Ekspansi Besar-besaran

Aura kegembiraan terpancar kuat dari lantai PT Bursa Efek Indonesia pada 28 Desember 2018. Dengan wajah semringah, Presiden Joko Widodo beserta jajarannya dan pejabat terkait pasar modal serta Bank Indonesia menutup perdagangan saham 2018 yang berada di zona hijau pada level 6.194. 

Di penghujung 2018, indikator perdagangan BEI menunjukkan angka yang positif. Rata-rata nilai transaksi harian (RNTH) BEI 2018 naik signifikan. 

RTNH tahun ini tercatat mencapai Rp8,52 triliun, naik sekitar 12 persen dari 2017. Secara total ada 57 emiten baru yang tercatat di lantai bursa dengan dana yang berhasil digalang senilai Rp16,01 triliun. 

Dengan fakta-fakta tersebut, Jokowi pun mengaku optimistis bahwa pasar saham Indonesia bisa lebih baik lagi tahun depan. Meskipun, masa tahun politik akan mencapai puncaknya. 

Selain itu, Jokowi mengatakan, pertumbuhan ekonomi tahun ini diperkirakan mencapai 5,17 persen dengan inflasi dijaga rendah pada level 3 persen. Kedua indikator itu dipastikan akan terus dijaga stabilitasnya, karena dinilai menjadi dasar investasi masuk ke Indonesia. 

"Sehingga kepercayaan investor akan semakin menarik," ujarnya. 

Penutupan IHSG di Bursa Efek Indonesia

Penutupan IHSG di Bursa Efek

Sejumlah kalangan berpendapat berbeda mengenai optimisme tersebut. Pengamat Ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bima Yudhistira menilai, pertumbuhan ekonomi Indonesia akan berada di level 5 persen tahun depan. Lebih rendah dari asumsi pemerintah di level 5,3 persen. 

Menurutnya, selain dari efek tahun politik yang bakal melemahkan laju investasi, konsumsi masyarakat pun akan cenderung stagnan. Kondisi tersebut khususnya terjadi pada masyarakat kelas menengah ke atas. 

"Pendapatan masyarakat yang bekerja di sektor komoditas, seperti perkebunan tahun depan masih rendah. Seiring harga sawit dan karet belum menunjukkan perbaikan yang signifikan," ujar Bima kepada VIVA, Kamis 27 Desember 2018. 

Dia pun berpendapat, ancaman dari ekonomi global khususnya perang dagang AS-China masih besar tahun depan. Meskipun saat ini sudah ada sinyal positif terkait negosiasi masalah tersebut dari kedua negara. 

"Dari sisi ekspor belum ada tanda-tanda perang dagang membaik. Jadi sisi ekspor tidak bisa diandalkan," ungkapnya. 

Menurut Bima, perkembangan perang dagang itu juga menyebabkan volatilitas yang tinggi pada pasar keuangan. Pelaku pasar menghindari masuk ke negara berkembang untuk jangka waktu pendek.
 
"Imbasnya tekanan pada rupiah meningkat di akhir tahun (2018)," tuturnya. 

Di sisi lain, pembangunan infrastruktur yang digenjot Jokowi dinilai belum akan terasa dalam jangka pendek. Artinya, ketersediaan infrastruktur dalam mendorong pertumbuhan ekonomi pun masih belum efektif dirasakan. 

Sementara itu, Asosiasi Pengusaha Indonesia atau Apindo juga sedikit pesimistis terhadap perkembangan ekonomi Indonesia pada 2019. Pertumbuhan ekonomi 2019 diproyeksikan kalangan usaha hanya 5,2 persen atau lebih rendah dari proyeksi pemerintah dalam APBN sebesar 5,3 persen.

Ketua Umum Apindo, Hariyadi Sukamdani, mengungkapkan, proyeksi yang cenderung konservatif dibanding proyeksi pemerintah itu lebih dikarenakan banyaknya tekanan ekonomi dari sisi global maupun domestik pada 2019. Situasi itu berisiko menekan sentimen positif pelaku usaha untuk mengembangkan bisnisnya.

"Tekanan internasional ini (perang dagang) jadi salah satu faktor yang cukup berpengaruh besar," kata dia dalam konferensi pers Outlook Apindo 2019 di Jakarta, Rabu 5 Desember 2018.

Di melanjutkan, tahun politik 2019 juga sangat memengaruhi sentimen pelaku usaha. Sebab, pada periode itu, menteri-menteri dalam kabinet baru belum terbentuk sepenuhnya. 

Kondisi tersebut ditegaskan dapat memengaruhi efektivitas kabinet untuk memenuhi target-target ekonomi pada kuartal I-2019. Situasi yang dapat membuat ada kecenderungan pelaku usaha wait and see. 

Haryadi juga menegaskan bahwa masih banyak kendala domestik yang juga menurunkan sentimen pelaku usaha terhadap perkembangan ekonomi pada 2019. Mulai dari upah minimum yang meroket dan masih ada tumpang tindih regulasi perizinan di pemerintahan daerah. 

Hal lain yang menghambat adalah belum optimalnya sistem kemudahan berinvestasi melalui sistem One Single Submission atau OSS. Masih terus berlanjutnya impor barang modal dan bahan baku di industri ekspor dalam negeri, yang komposisinya sekitar 70 persen, sehingga membuat industri dalam negeri sulit berkembang.

"Ini mudah-mudahan tahun depan bisa diselesaikan, kalau tidak bisa buat bias asumsi kami, proyeksi kami." ujarnya. 

Meski demikian, pengamat ekonomi M Nawir Messi berpendapat, sikap pemerintah yang mengedepankan stabilisasi ekonomi dalam arah kebijakannya sudah tepat. Sebab, tidak banyak yang bisa diharapkan pada tahun politik untuk menggenjot perekonomian. 

Dia menegaskan, ruang ekspansi usaha di Indonesia tahun depan tidak terlalu besar, sehingga proses yang berlanjut adalah konsolidasi bisnis. Artinya, untuk mengejar pertumbuhan yang tinggi, menurutnya, akan cukup sulit. 

"Saya kira apa yang terjadi tahun ini masih akan terus berlangsung pada 2019. Konsolidasi masih berlangsung, sehingga saya tidak melihat ada ekspansi besar-besaran," ujarnya di Jakarta, Sabtu 15 Desember 2018.

Amunisi Pemerintah

Pemerintah menyadari, investasi dan konsumsi pemerintah pada tahun politik tidak bisa diandalkan untuk mendorong perekonomian 2019. Kondisi itu lah yang mendasari kebijakan anggaran pun didorong untuk mendongkrak konsumsi masyarakat, khususnya masyarakat miskin melalui bantuan sosial. 

"Nah, dorongan yang utama harusnya dari investasi. Tapi kita tahu, mungkin kalau menjelang pemilu, investasi mungkin masih belum terlalu tinggi. Karena masih melihat kampanye dan lain-lain," ujar Suahasil. 

Salah satu kebijakan anggaran bansos yang digenjot untuk mendorong konsumsi adalah Program Keluarga Harapan (PKH). Dalam APBN 2019, anggaran untuk program tersebut naik dari Rp19 triliun menjadi Rp34 triliun. 

Meskipun jumlah penerima PKH tidak naik, yaitu 10 juta rumah tangga. Konsumsi mereka akan naik seiring dengan kenaikan bahan pokok yang terjadi. Ada pula Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) yang diberikan pemerintah setiap bulannya kepada sekitar 96 juta Keluarga Penerima Manfaat (KPM).

Presiden Joko Widodo (kiri) memberikan foto kepada penerima kartu Program Keluarga Harapan (PKH) saat sosialisasi di Gelanggang Remaja Jakarta Timur, Jakarta.

Jokowi dalam acara sosialisasi PKH

BPNT yang merupakan transformasi dari program beras sejahtera ini, diberikan ke KPM sebesar Rp110 ribu per bulan. Penyalurannya pun akan dilakukan non tunai melalui bank, sehingga industri secara tidak langsung juga dapat membantu likuiditas dan perputaran uang di perbankan. 

"Kami harap konsumsi bisa terus meningkat sekitar 5,1 atau 5,2 persen pertumbuhannya. Itu dari mana? Salah satunya adalah dari belanja pemerintah yang kenaikannya cukup besar, terutama untuk belanja sosial," ungkapnya. 

Sementara itu, pada 2020, atau satu tahun setelah pilpres, Jokowi pun menjanjikan, pemberian PKH akan ditingkatkan kepada 100 persen keluarga miskin di Indonesia, yaitu 15,6 juta rumah tangga. Artinya, seluruh keluarga miskin di Indonesia akan dibiayai pemerintah jika Jokowi terpilih kembali. 

"Kalau ini (keuangan negara) nanti sudah mapan, di 2020, saya ingin agar yang masuk dalam kategori keluarga miskin, kurang lebih 15,6 juta KK, itu semuanya harus dapat PKH," ujar Jokowi dalam Jambore Sumber Daya PKH di Istana Negara, Jakarta, Kamis 13 Desember 2018.

Di sisi belanja pemerintah, Suahasil mengatakan, tetap ada kenaikan anggaran infrastruktur. Namun, pembangunan yang dilakukan lebih ke arah infrastruktur yang meningkatkan kualitas sumber daya manusia di Indonesia. Dampaknya pun tidak instan dirasakan mendongkrak perekonomian. 

Namun, terlepas dari segala upaya pemerintah tersebut, dia berharap, gelaran pesta demokrasi tahun depan dapat berjalan lancar. Pemilu tidak akan mengganggu iklim usaha di Indonesia. Investasi pun sebagai motor utama pendorong ekonomi dapat terdongkrak setelah gelaran politik itu selesai. 

"Kami berharap, kalau pemilu lancar, aman, berhasil mendapatkan pimpinan-pimpinan yang merupakan pilihan rakyat. Kemudian, investor melihat bahwa ini pemilu yang baik, akhirnya investor memutuskan untuk masuk ke Indonesia," ungkapnya. 

"Jadi kami berharap ada dorongan dari investasi tapi setelah pemilu," tuturnya. (art)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya